api

Jumat, 08 Februari 2019

Babak Baru

Sudah lama sekali sejak tulisan terakhir aku tulis disini. Mungkin kemampuan menulisku sudah menurun atau bahkan passion ku sudah tak seperti dahulu. Tujuh tahun sudah setelah Tangerang, setelah harapan yang dulu menggebu, setelah ketidakberadaan sedikit menyiksaku. Kini semua tampak jauh berbeda dan bahkan aku mungkin tidak menyangka. Dalam tujuh tahun banyak peristiwa aku lewati atau mungkin aku lewatkan tetapi itu semua yang membentuk aku kini. Aku sudah merasa menua oleh waktu, Aku merasa tak memiliki diriku yang dulu. Tetapi entah kenapa masih sering muncul dipikiranku Aku harus berbuat sesuatu yang luar biasa.

Saat ini Aku tinggal Di Kebumen, Aku telah berkeluarga dan yang terpenting adalah aku sekarang memiliki tujuan hidup yang lebih pasti. Isteriku orang asli kebumen dan telah memiliki satu anak dari pernikahan terdahulunya. Ada saja cemoohan orang ketika aku memantapkan pilihanku ini karena status isteriku janda beranak satu. Tetapi yang terpenting buatku aku sangat menyayangi dia. Ada juga anggapan bahwa aku hanya menyayangi istriku saja bukan termasuk anaknya. Alih-alih membenciku malahan ia lebih menyayangiku melebihi ayah kandungnya sendiri. Aku tidak ingin dianggap lelaki kardus, lelaki yang kerapkali dusta. Banyak cobaan yang Aku lalui selama pernikahan, wanita terutama masih menjadi topik perselisihan kami. Tetapi itu bukanlah hal yang terlalu serius mengganggu keharmonisan kami, berkeluarga memang butuh bumbu-bumbu perselisihan menurutku.

10 Januari 2019, putri kami terlahir dengan nama DINARA SABIA HUSNA. Ia seolah menjadi oase dalam biduk rumah tangga kami yang telah berjalan satu setengah tahun lebih. Ia hadir menjadi pelipur segala kegundahan dan rasa lelah. Aku berikrar dalam hati agar aku menjadi seorang ayah yang bertanggung jawab dan bisa menjadi panutan anak-anakku kelak. 

Mungkin beberapa paragraf ini bisa menjadi pembuka babak baru hidupku. Tanpa aku harus mengubur hasrat ataupun impianku yang dulu dengan tetap menjaga tanggung jawabku sebagai seorang IMAM. 

Selasa, 18 Oktober 2011

Story Behind The Profil Scene

Ekonomi adalah faktor penyebab adanya kesenjangan sosial yang ada. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam interaksinya manusia lebih banyak berazaskan ekonomis,contohnya: memperoleh manfaat sebanyak mungkin dengan pengorbanan sesedikit mungkin. Akan tetapi,apakah untuk memperoleh hasil sebanyak mungkin atau semaksimalnya itu bisa dipastikan dengan pengorbanan yang kecil? Tentunya tidak,akan ada pengorbanan yang setimpal sesuai hasil yang kita peroleh. Bahkan mungkin bisa jauh lebih besar pengorbanannya jika dihitung dengan berbagai faktor.

Jika dihitung,dari 230 juta lebih penduduk indonesia memang banyak yang berpenghasilan lebih dari cukup tetapi yang berada di areal kemiskinan pun tidak sedikit jumlahnya yaitu sekitar 30-an juta jiwa menurut data BPS. Hal itu pun dengan ukuran miskin berdasar pengeluaran Rp 7000 perhari,coba standardnya dinaikan,pastinya akan kita peroleh jumlah yang lebih fantastis.

Kebanyakan rakyat miskin di indonesia bekerja di sektor informal. Dan diantara jenis pekerjaan sektor informal yang umumnya kita ketahui,ada pekerjaan pemungut. Bukan pemungut sampah,bukan tukang barang rombengan,mereka pemungut sisa barang dagangan yang tercecer. Pekerjaan ini tidak bisa dipungkiri menghiasi beberapa pasar,terutama pasar sayuran dan pasar beras. Perlu bukti,silahkan datangi pasar terdekat ditempat anda masing-masing.

Para pemungut sisa itu menjadi parasit bagi para pedagang dan petugas pasar. Kenapa? Karena mereka mengganggu ketertiban dan kadang merugikan pedagang,tidak jarang dari mereka melakukan pencurian. Akan tetapi,mereka tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari pasar,mereka akan selalu menempel pada inangan mereka yaitu pasar.

Berbagai umur menekuni profesi ini (pemungut sisa),dari anak seusia SD hingga nenek-nenek yang sudah tidak seharusnya berkeliaran di pasar. Ironisnya,rasa belas kasih,halal-haram seperti tidak punya batasan lagi hitam dan putihnya. Mereka bukan lagi bekerja pribadi untuk diri sendiri,mereka sudah seperti 'mafia',mereka terorganisir dan ada pengepulnya. Hal itu yang yang terkadang membuat kalangan Pasar baik itu petugas dan pedagang kesal,mereka tak tersentuh retribusi.

Foto yang saya tampilkan diatas merupakan foto seorang nenek yang sedang mengais sisa bawang putih di depan kios bumbu dapur.

#postinganpertama,kesannya coba-coba,selanjutnyamungkinluarbiasa

Kamis, 01 September 2011

Dulu Bung Sekarang Giliran Lu Bro

Justice or Just Ice we get it....
Cold and couldn't give fairness...
People is only lectured to eat and eat...
we foolish by law that above anything but nonsense....
Republic,socialis,narcis, and egois...
Everyone who afflicted called people...
Everyone who marginalized called people...
Each of us who made provocate i call bad apple...
Young people who inovative,they are hustler...

Dunia ini sekarat ibarat manusia sudah menghuni ICU,manusia melarat
menyayat hati memilu kalbu...
Wahai penguasa,pengusaha,ulama,pendeta,bapa,dan nelayan samudra...
Tidakah sekarang ini ngeri melihat bumi kita...
Indonesia kepulauan nusantara mimpinya tinggi tetapi lupa diri,lupa
kalau diwarisi bukannya menambahkan malahan dihabiskan...
Di gedung melengkung mereka berebut urusan perut,berdebat masalah
terserah,hiruk-pikuk tapi kikuk...
Juragan negeri ini beserta asistennya entah tau apa mereka,kata rakyat
mereka cuma tebar pesona padahal bangsa ini butuh aksi membangun
negeri...
Siapa yang akan menolong kalau bukan diri kita sendiri apalagi
berharap pada pemerintah yang penuh suap....
Hei...kalian para terpelajar,wirausahawan,olahragawan,dan seluruh
komponen pewaris masalah dan beban hutang bangsa,mari kita advokasi
negeri ini menuju mandiri....
"Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit." "Seribu orang tua hanya
dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia."itu kata Bung
Karno...
Saatnya bangkit memperjuangkan impian yang terlelap suap dan di kubur
korupsi,dulu Bung sekarang giliran lu Bro...

#intermezopoem

--
Sent from my mobile device

Rabu, 31 Agustus 2011

Puisi Hartoyo Andangjoyo

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang
berbunga mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di
kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemari angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
rakyat ialah otak yang menulis angka-angka Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
rakyat ialah puisi di wajah semesta Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa Sastra,

#No. 10-11, Th II, 1962 Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
Oleh:Hartoyo Andangjoyo

Selasa, 30 Agustus 2011

Pengais Sisa

Ekonomi adalah faktor penyebab adanya kesenjangan sosial yang ada. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam interaksinya manusia lebih banyak berazaskan ekonomis,contohnya: memperoleh manfaat sebanyak mungkin dengan pengorbanan sesedikit mungkin. Akan tetapi,apakah untuk memperoleh hasil sebanyak mungkin atau semaksimalnya itu bisa dipastikan dengan pengorbanan yang kecil? Tentunya tidak,akan ada pengorbanan yang setimpal sesuai hasil yang kita peroleh. Bahkan mungkin bisa jauh lebih besar pengorbanannya jika dihitung dengan berbagai faktor.

Jika dihitung,dari 230 juta lebih penduduk indonesia memang banyak yang berpenghasilan lebih dari cukup tetapi yang berada di areal kemiskinan pun tidak sedikit jumlahnya yaitu sekitar 30-an juta jiwa menurut data BPS. Hal itu pun dengan ukuran miskin berdasar pengeluaran Rp 7000 perhari,coba standardnya dinaikan,pastinya akan kita peroleh jumlah yang lebih fantastis.

Kebanyakan rakyat miskin di indonesia bekerja di sektor informal. Dan diantara jenis pekerjaan sektor informal yang umumnya kita ketahui,ada pekerjaan pemungut. Bukan pemungut sampah,bukan tukang barang rombengan,mereka pemungut sisa barang dagangan yang tercecer. Pekerjaan ini tidak bisa dipungkiri menghiasi beberapa pasar,terutama pasar sayuran dan pasar beras. Perlu bukti,silahkan datangi pasar terdekat ditempat anda masing-masing.

Para pemungut sisa itu menjadi parasit bagi para pedagang dan petugas pasar. Kenapa? Karena mereka mengganggu ketertiban dan kadang merugikan pedagang,tidak jarang dari mereka melakukan pencurian. Akan tetapi,mereka tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari pasar,mereka akan selalu menempel pada inangan mereka yaitu pasar.

Berbagai umur menekuni profesi ini (pemungut sisa),dari anak seusia SD hingga nenek-nenek yang sudah tidak seharusnya berkeliaran di pasar. Ironisnya,rasa belas kasih,halal-haram seperti tidak punya batasan lagi hitam dan putihnya. Mereka bukan lagi bekerja pribadi untuk diri sendiri,mereka sudah seperti 'mafia',mereka terorganisir dan ada pengepulnya. Hal itu yang yang terkadang membuat kalangan Pasar baik itu petugas dan pedagang kesal,mereka tak tersentuh retribusi.

Foto yang saya tampilkan di profil merupakan foto seorang nenek yang sedang mengais sisa bawang putih di depan kios bumbu dapur.

#postinganpertama,kesannya coba-coba,selanjutnyamungkinluarbiasa